SECANGKIR RINDU UNTUK DIGA
Good bye, Mom and Dad
(part 8)
Aku sengaja memberitahu mom agar tidak
memberitahu diga. Dan mom menyetujuinya, kelihatannya mom tahu keadaanku. Aku sudah
menyewa Apartemen di singapur. Bahkan aku akan tinggal dekat dengan rumah
windy, temanku dulu.
Aku akan di antar mom and dad ke bandara
siang ini. Dan sampai detik ini, diga belum menghubungiku. Aku harus mencoba
melupakannya dari sekarang..
“mom, nggak usah lah setiap bulan ke
singapur, sama aja nanti aku nggak mandiri”
“tapi kan gin..kalau kamu butuh
apa-apa gimana? Kalau kamu kenapa-napa gimana?”
“mom, aku cuma ke singapur buat
kuliah, jangan terlalu khawatir ya..”
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, aku
melirik ke wallpaper. Ada foto diga dan aku disana yang sedang tersenyum dan
melambaikan tangan. Aku masih ingat foto itu di ambil waktu aku dan diga
bermain di dufan tiga bulan yang lalu. Di perjalanan seperti ini, diga baru
menghubungiku.
“halo..”
“gina? kamu lagi ngapain?”
“lagi di jalan dig.. kenapa?”
“sama siapa?”
“mom sama dad”
“kemana? Lunch ya?”
“hm..”
“tumben om david nggak ngajakin aku,
biasanya dia sangat rewel kalau ada acara makan begitu”
“oh..” (kamu beneran nggak tau kalau
aku mau pergi dig?)
“oya gin, besok kamu bisa ke kampus
nggak?”
“kampus..?”
“iya..”
“ngapain?”
“Pak hadi, dosenku itu minta laporan
liniernya besok. Laporanku ada di meja belajar gin, oya sampulnya warna kuning”
“nanti aku suruh pak darto kesana
ya..”
“kamu pelit banget sih? Aku kan minta
tolong..”
“kabar om sama tante disurabaya baik
kan dig?”
“iya mama papa baik..”
“baguslah..” (terus gimana Karin? Dia
baik juga? Pasti bahagia banget yah.. bisa ngunjungin rumah kamu.. sekarang)
“kamu kapan mau nyusul aku ke Surabaya?”
“ngapain?” (untuk apa dig.. kamu mau
nyakitin aku lebih dari ini? Apa aku harus ngeliatin kamu terus-terusan bareng
sama Karin..?)
“aku kangen sama kamu gin. Akhir-akhir
ini kamu seakan menghindar dari aku. Aku nggak tau apa salahku..”
Aku langsung menutup telponku. Mataku
basah kembali. Aku menangis lagi, untuk yang kesekian kali hanya karna diga.
Aku memeluk mom, dan mom balik memelukku. Mom tidak berbicara sedikitpun,
begitu juga dengan dad dan pak darto. Mereka semua terdiam, seakan semuanya tau
apa yang aku rasakan.
Lima belas menit lagi aku akan pergi.
Aku masih ingin menelpon diga untuk terakhir kali sebelum aku membuang kartu
dihandphoneku. Aku ingin tau sekarang dia memikirkan aku atau tidak. Kalau dia
masih memikirkan aku, aku akan menghubunginya lagi setelah di singapur. Tapi
kalau tidak, sungguh aku berjanji pada diriku sendiri untuk melupakan diga.
Untuk membuang memoriku tentang diga sejauh-jauhnya.
“diga kamu lagi ngapain?” (diga aku
dibandara)
“lagi mau makan nih gin.. kamu udah
makan belum?”
“udah..” (belum, aku bahkan pengen
muntah kalau melihat nasi)
“hm.. kok rame banget sih disana?”
“iya..”
“oya, aku lupa kalau kamu kan lagi
makan di luar juga..”
“iya..”
“kamu pesen apa gin? Ah pasti steak,
iya kan?”
“iya..”
“hahaha, kamu ini nggak berubah sama
sekali yah..”
“iya..” (perasaanku ke kamu juga tidak
berubah sedikitpun, tapi entah setelah aku disingapur)
“aku makan sama karina”
“..i..iya”
“dia baik orangnya gin..”
“iya aku tau..”
“dia juga sangat dewasa..”
“iyakah..” (apa aku sangat childish?)
“iya.. dia manis kalau tersenyum..”
“iya”
“dia bisa tau kapan aku lagi
sedih..kapan aku lagi mikirin sesuatu yang penting..semuanya”
“iya”
“gina, aku pengen ngomong sesuatu sama
kamu”
“apa? Aku nggak denger. Nanti aku
telpon lagi aja ya”
Aku lagi-lagi mematikan telponku. Dan
kali ini aku tidak main-main. Aku membuang kartu dan menggantinya dengan yang
baru. Lalu aku berjalan menuju pesawat, duduk di pinggir jendela. Aku sangat
takut dengan kata-kata terakhir diga. Sebelumnya aku mendengar seribu pujian
untuk Karin dan aku yakin kata-kata terakhir diga adalah dia lebih memilih
Karin daripada aku. Aku sama sekali tidak ingin menerimanya. Permainan apa ini?
Pesawatku boarding tepat pada
waktunya.. selamat tinggal Jakarta, Surabaya, Indonesia, dad, mom..selamat
tinggal cinta pertamaku yang menyakitkan, diga pratama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar