TATA WIJAYA
(2)
Dodit masih memainkan LKS IPAnya,
dia memandangku dengan tatapan jayus. Aku medekatinya dengan tatapan lebih
jayus. Pikirannya lagi-lagi sangat aneh.
*kenapa
yah.. si tata kok kaya bisa tau perasaan gue gitu? Buktinya pas kemaren makan
dia nebak-nebak kalo gue suka sama dia? Padahal gue ngomong aja belum.. lagian?
Mendingan kita temenan aja sih.. kalo semisal pacaran juga nggak enak, kalo
lagi berantem apalagi. Tapi ngomong-ngomong, sebenernya dia suka sama gue juga
nggak sih? Tapi kan tampang gue pas-pasan. Pinter enggak. Sebenernya gue tuh
kelebihannya apa sih?*
“bener tuh mendingan kita temenan
aja” kataku akhirnya sambil menatap dodit dan tersenyum
“apa? Maksud lo apaan sih ta?” Tanya
dodit sambil melangkah ke arahku dan memperhatikanku lebih dari biasanya. Dodit
menatapku geram, pikirannya masih bisa ku baca. Antara gelisah dan galau. Aku hanya
menahan tawa melihat tingkahnya yang sangat berbeda jauh dengan pikirannya.
“ya gitu.. kita lebih asik
temenan dit. Lagian elo tuh udah gue anggep sabagai sahabat terbaik gue, jadi
lo nggak usah kecewa begitu ya?”
“terserah lo aja lah. Nggak jelas
banget lo jadi orang” katanya lalu memalingkan muka.
Dari sekian banyak manusia, ada
beberapa orang yang nggak bisa aku baca pikirannya. Dan aku tidak memusingkan
hal itu. Salah satunya guru IPSku. Entah bagaimana bisa, aku tidak menemukan
pikirannya di pikiranku. Padahal, dari kelebihanku yang ini, aku bisa meraih
juara satu berturut-turut karena aku tau bagaimana setiap guru berpikir. Ada salah
satu guruku, namanya ibu Noni, setiap kali dia mengajar, pikirannya selalu
buyar. Kasihan, banyak sekali masalah yang dihadapinya, jadi aku maklum kalau
disering marah-marah, bukan karena tanpa alasan. Tetapi memang suasana hatinya
yang tidak karuan.
Terkadang, aku merasa bahwa aku
terlalu berhalusinasi akan hal ini. Tapi nyatanya, semua yang aku tebak benar
dan tidak salah sedikitpun. Dan aku punya ayah. Hanya ayah. Ibuku sudah pulang
ke rumah Tuhan sejak aku lahir didunia. Dan aku tahu, Tuhan sangat
menyayanginya.
Ayah, walaupun aku bisa membaca
pikiran orang lain, tapi tidak termasuk ayah dan guru IPSku pak Ilham. Mereka berdua
sama sekali tidak terbaca pikirannya. Ayahku tidak pernah menikah lagi, setelah
ibu pergi. Ayah sangat mencintai ibu. Dia sama sekali tidak akan lupa
membicarakan kebaikan ibu walau hanya sehari.
aku adalah putri tunggal. Walaupun
begitu aku tidak pernah merasa kesepian. Mba rista, pembantu dirumahku mengajak
anaknya tinggal satu rumah. Anaknya bernama tina. Dia satu sekolah denganku. Sesekali
aku membaca pikirannya ketika dia membantu mba rista menyiapkan makan malam
untukku dan ayah. Tapi entah kenapa dia berpikiran ‘aneh’.
Aneh disini, dia seperti tidak
menyukaiku. Dia selalu mengumpat namaku disetiap pikirannya. Tapi aku tidak
pernah mempersalahkan hal itu. Dan disekolah ini aku tahu, bagaimana dia
menceritakan dirinya sebagai saudara kandungku. Wajahnya memang cukup cantik. Tapi
sayang pemikirannya seperti anak kecil. dan aku juga tidak mempermasalahkan hal
itu.
Aku mendengar jejak langkah tina
menuju kamarku, dan aku sudah bisa membaca pikirannya.
“ta?”
“masuk aja tin, kenapa?” aku
selalu berpura-pura tidak tahu menahu apa yang akan dia tanyakan padaku. Padahal
dengan sangat jelas, aku tau semua yang ada di otaknya. Dia akan menanyakan
kegiatanku besok setelah pulang sekolah. Apakah ada eskul? Kalau iya, dia akan
membawa teman-temannya kerumah dan meminjam kamarku.
“aku mau nanya ta, boleh nggak?”
“boleh, duduk aja disini” aku
menepuk-nepuk kasurku. Tina berangsur berjalan dan duduk tepat di depanku. Lalu
aku tersenyum.
“besok kamu ada ektra kulikuler
nggak? Kalo ada nanti aku musti bawain makanan apa?”
“ada sih.. tapi aku nggak perlu
makanan apa-apa kok tin. Nanti aku beli roti aja”
“oh oke..”
“aku pulang agak sorean kok, jam
limaan” kataku akhirnya, aku menjawab begini karena aku mengijinkan tina
memakai kamarku untuk teman-temannya. Walaupun pikirannya yang memang aneh,
tapi aku tau tina anak yang baik. sepertiku, tina hanya punya mba rista. Dan mba
rista juga tidak menikah lagi setelah suaminya menceraikannya beberapa tahun
yang lalu.
“oh gitu..”
“masih ada lagi? Oya tina, besok
mau berangkat bareng nggak? Apa andre mau jemput?”
“berangkat bareng?”
“iya.. kita kan satu rumah,
sekolah kita sama. Nggak ada salahnya kan kalo kita berangkat ke sekolah
bareng?”
“oh.. oke deh, nanti aku bilang
sama andre biar nggak usah jemput”
“oke”
Tina bangkit dari kasurku dan
beranjak pergi. Aku menghela nafasku. Aku baru saja membaca pikirannya lagi. Ternyata,
dia dari dulu mengharap agar aku mengajaknya untuk berangkat sekolah bersama. Mungkin
aku kurang perhatian kepadanya. Yang aku tau, setiap kali aku sudah sampai
kelas, aku melihatnya bersama andre berangkat bersama. Dan aku tidak memikirkan
hal itu dengan porsi yang banyak.
Aku melihat jam dinding. Ayah belum
pulang, padahal sudah lewat dari jam Sembilan malam. Aku keluar kamar dan
mencari mba rista. Aku melihat mba rista sedang mencuci piring di dapur. Lagi-lagi
aku sudah bisa membaca pikiranya. Aku tau kalau dia lelah. Dan dia sedang
bingung mebayar hutang milik mantan suaminya. Aku hanya menunduk setelah
membaca pikirannya.
“mba rista..”
“iya non, kenapa? Apa non mau
makan sesuatu?”
“nggak kok. Sudah malam, mba
rista nggak istirahat aja? Piringnya kan bisa dicuci besok.. oya ayah belum
pulang ya mba?” kataku dengan nada sehalus mungkin, aku hanya ingin bersikap
sopan. Kata ayah, ibu adalah wanita tersopan yang pernah ia temui.
“oh iya, mba lupa non. Malem ini
bapak nggak pulang, katanya ada urusan di luar kota, mendadak gitu non..”
“oh gitu.. oya mba, kalau ada
apa-apa ngomong sama aku sama ayah ya mba., jangan malu-malu..”
“oh iya non.. tapi mba nggak papa
kok”
“ya udah ya mba.. makasih, oya
udah nyuci piringnya mba. Udah malem loh”
“iya non”
Aku berjalan menuju kamar. Ada lima
juta? Banyak banget hutangnya.. biar nanti aku ngomong sama ayah buat bantuin
mba rista. Kasian dia.
Pagi-pagi buta aku terbangun, aku
berjalan malas menuju dapur. Perutku keroncongan, mba rista sudah memasak nasi
goreng special. Aku langsung mengambil piring, ku lihat tina sudah berdandan
rapi. Aku tertawa kecil dalam hati, aku baru tahu dia sangat senang akan
berangkat bersamaku hari ini.
“tin? Kamu udah makan?”
“belum”
“makan sini bareng sama aku”
“hah?”
“iya sini duduk bareng aku. Mba rista
udah makan belum?”
“waduh..mba nggak biasa makan
sepagi ini non. Non saja duluan, tina nanti makan didapur aja non”
“didapur? Udah sini nggak papa
tin. Duduk sama aku. Kita makan bareng yah”
Aku tersenyum memandangnya. Akhirnya
ada juga pikiran positif tentangku diotaknya.
*ternyata si tata lumayan baik, nggak
seperti anak-anak kaya yang lain*
To be continue eaaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar