Petir
seakan sangat bersahabat dengan keadaan
Bulu
kuduk kian menari duka
Dikiranya
bulu mata itu membuahkan hujan rintik
Kembang
tujuh rupa menyerbak
Kain
putih terhela bermeter
Itu
berada tepat diteras rumahku
Bau anyir
Ada
runtuhan darah dipipi kananku
Ada
percikan darah dihidungku
Sedang
tanganku tak utuh
Ada
jemari yang keliatannya putus dan memisahkan diri
Nada-nada
duka tertawa riang karna terputar setelah sekian lama terlupakan
Kakiku
melangkah
Syahduhnya
lantutan nama Tuhan
Tapi
bagaimana bisa hatiku tidak merasa sakit? Apalagi bergelidik?
Normal
saja
Tidak ada
denyut nadi
Yang
kulihat
Tubuhku
ini memucat
Bahkan
aku ini tidak bernafas
Kalau
dibilang bermimpi itu tidak mungkin
Aku
menamparku
Aku
membangunkan diriku sendiri
Tapi aku
tak kuat mencium bau anyirnya
Padahal
hidungku tak menegeluuarkan hembusan nafas
Telah
matiku?
Mana
malaikat?
Agar bisa
aku bertanya
Siapa
yang tega melihat ibu lalang melintang pingsan dihadapan tubuh yang berdarah seperti
itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar