Rumah
ini mulai sepi setelah kepergian mamah, orang terkasihku. Aku duduk terdiam di
kamar, memeluk foto mamah erat. Aku masih terngiang-ngiang apa kata mamah.
Bahwa beliau sebenarnya sangat mencintaiku, tapi memang mamah dan papah tidak
bisa terus bersama. Di persidangan ketiga, setelah sore itu mamah pulang dan
muntah banyak darah. Entah apa yang di katakan dokter, mamah tidak bisa
terselamatkan.
“cantik..”
kata kak reno membangunkan lamunanku, dia berjalan mendekatiku dan sekarang
tepat berdiri di depanku sambil mengusap air matanya. Aku masih terdiam
memandangnya, air mataku sudah tidak mengalir, tapi aku masih merasakan sakit
hati yang begitu dalam. Bahkan, papah masih di singapura sekarang. Papah sama
sekali tidak pernah peduli dengan mamah.
“papah
udah dateng kak?” kataku akhirnya, aku memandangnya penuh harap, setidaknya
hari ini adalah hari ketiga mamah pergi kerumah Tuhan, jadi papah belum terlalu
terlambat.
“papah?
Ngapain sih kamu terus-terusan cari papah, apa kamu nggak inget mamah baru aja..”
kata kak reno terhenti dan mengusap lagi air matanya, aku memandangnya letih.
Ada rasa bersalah lagi disini, aku hanya berfikir, aku tidak mau kehilangan
papah setelah aku kehilangan mamah. Aku tau, kak reno dan kak rita sangat
membenci papah atas hal ini. Tapi apakah aku juga harus membencinya?
“aku
cuma..hanya ingin melihat papah di sini kak, di tengah-tengah kita” kataku.
Mata sembabku terasa berat sekarang, pandanganku mulai kabur, mungkin karena
kehabisan air mata. Kepalaku pusing tidak terkira, badanku lemas. Aku terasa
akan terbang menyusul mamah di surga.
Ada
teriakan keras setelah aku memejamkan mata, aku tidak bisa melihat apa yang
terjadi, tapi aku masih bisa mendengar, merasakan sakit hati terus-menerus.
“cantik?
Sayang? Bangun….”
“cantiiikkk…”
Aku
membuka mataku sedikit demi sedikit, mungkin tadi aku hanya kelelahan. Dan
pingsan. Kak rita melihatku dengan tatapan sayu. Tapi aku tahu, ada rasa
amarahnya disana.
“gara-gara
kamu! Mamah pergi! Dia pergi dengan nggak tenang!” kak rita menunjuk ke arahku,
aku tersentak kaget. Aku hanya terdiam melihat kelakuannya. Aku masih bingung
apa yang sebenarnya terjadi, aku masih duduk di kelas satu SMA. Dan kak rita
sekarang sedang menyalahkan aku.
“apa-apaan
sih kamu rit! Kamu kalo ngomong nggak usah ngasal deh” kak reno membentaknya
dengan nada tinggi.
“kamu
nggak liat gimana kelakuan dia minta mamah buat nggak cerai sama papah ren?
Kamu buta yah? Hah?!!” bentak kak rita lagi
“aku
juga nggak setuju mamah sama papah cerai!” kata kak reno dan mulai mendekati
kak rita.
“kalian
berdua sama aja! Bego!! Kalian nggak liat betapa menderitanya mamah? Liat papah
kalian berdua, dia cuma bisanya pergi kesana kesini tanpa pernah peduli sama
mamah! Dia egois! Dia nggak pernah mikirin mamah!! Dia nggak pernah mikirin
aku! Dia nggak pernah mikirin kehidupan kita!!” tambah kak rita
Aku
hampir tidak percaya, kak reno telah menampar kak rita. Keduanya menangis
sendu, aku hanya bisa menahan rasa sakit hatiku sekarang. Bahkan kedua kakakku
sekarang sedang perang dingin karenaku.
“sudah-sudah!
Kalian semua sudah besar, kenapa kelakuan kalian masih seperti anak kecil?
kekanakan!” bentak om dilan. Dia menarik kak reno menjauh dari kak rita.
Semua
ini berawal dari pekerjaan baru papah di Jakarta. Kita semua pindah kesini dua
tahun yang lalu, entah ada malapetaka apa, tapi setelah aku, kak reno, kak
rita, mamah dan papah menginjakkan kaki di kota ini, semuanya mulai berubah.
Papah, sekarang kerja di sebuah perusahaan yang mengharuskan dia pergi keluar
kota. Kak reno juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter. Sedangkan kak
rita, masih seperti dulu. Hanya hura-hura dengan teman-temannya.
Sejak
itu, papah jarang pulang kerumah. Mamah mulai mencemaskan papah, mulailah
mereka bertengkar, bertengkar di kamar, bertengkar di ruang makan, di ruang
keluarga, bahkan di depan anak-anaknya sendiri. tapi kak reno dan kak rita tidak
pernah peduli, entah tidak peduli atau malas melihat kelakuan papah yang sering
menampar mamah. Dan mamah terlalu lemah.
Aku
mulai mengidap penyakit ini, penyakit entah apa namanya. Tapi aku dengar
penyakitku sangat langka. Hanya ada satu diantara sejuta manusia. Entah apa
yang direncanakan Tuhan. Tapi sungguh, entah bagaimana hanya aku dan mamah yang
tau. Dan mamah merahasiakan hal ini seperti dia merahasiakan penyakitnya dari
orang-orang termasuk kak reno yang pekerjaanya sebagai dokter.
Aku
mulai melihat perbedaan pada diriku sendiri. dadaku terkadang sangat sesak
sampai aku tidak bisa bernafas. Dan mataku kabur, aku susah melihat diriku
sendiri di cermin. Maka dari itu, aku mulai membenci cermin.
Aku
selalu bersikap biasa kepada kak reno, kak rita, dan kepada teman-temanku
disekolah. Badanku terasa ringan seperti biasa. Aku sering tidak mengikuti
olahraga disekolah, karena setiap aku berlari, akan ada darah mengalir dari
hidungku begitu saja.
Bulan
kemarin, aku dan mamah pergi ke rumah sakit di singapur. Tepat di hari ulang
tahunku, kata mamah dia ingin memastikan aku baik-baik saja. Dan pada saat itu
aku memang merasa baik-baik saja. Sampai akhirnya banyak alat dokter yang
menempel ditubuhku, menunggu beberapa hasil laboratorium, dan aku sama sekali
tidak tahu bahwa mamah juga sibuk mengobati penyakitnya.
__________________________________________________________________________
“rin?
Kamu mau kemana?” kataku malas. Hari ini aku lagi-lagi tidak mengikuti olahraga
dan tentu saja teman-temanku mencibir dibelakangku, kecuali Pak rosidi. Sebagai
guru olahraga, dia sering memergokiku mengusap darah yang mengalir begitu saja
dari dalam hidungku
“ke
perpus, kamu mau ikutan? Oya yah, dapet salam dari Rio. Katanya jangan lupa
makan siang. Eh, ngomong-ngomong kalian beneran pacaran yah?” kata rina
sahabatku dikelas. Langkahnya sekarang menuju kearahku.
To be continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar