SECANGKIR RINDU, UNTUK DIGA
*MY COUSIN
DIGA
(part 1)
Aku masih
terus mengomel pada mommy. Aku masih tidak mau menerima kenyataan bahwa mommy
lagi lagi memasak sayuran brokoli yang sama sekali tidak aku sukai. Bentuknya yang
aneh dan menggelikan itu membuatku ingin sekali muntah dan menjauhinya. Dan aku
juga sangat kesal melihat diga dengan lahap memakan sayuran menggelikan itu. Aku menggerutu dan memaki diri sendiri, kenapa ada sayuran
yang berbentuk aneh seperti itu.
Aku beranjak
dari meja makan yang hampir semuanya makanan yang tidak aku sukai tapi sangat
disukai oleh diga, sepupuku yang baru saja datang dari Surabaya. Well, dia itu anak
paling bawel yang pernah aku kenal, sebagai cowok sehatusnya dia tau porsi bicaranya sangat melebihi porsi cewek seperti ku. Apalagi usia kita
tidak terpaut jauh. Aku 16 tahun dan diga baru 18 tahun. Tapi lihat saja
gayanya yang sok dewasa dengan rambut yang sebegitu dewasanya, apalagi tatapan
mata yang masih menyebalkan seperti dulu pas dia membuatku menangis terus
menerus setiap dia berkunjung ke Jakarta.
Iya aku
paling sebal dengan sepupuku yang satu ini, tapi entah ada karma darimana dia
diutuskan Tuhan untuk melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Dan tanpa basa basi dia
meminta izin orang tuanya untuk tinggal bersamaku, maksudnya bersama kami,
daddy dan mommy. Sebenernya agak malas untuk menjelaskan bagaimana dia. Tapi
begini adanya.
“lo mau
kemana gin?”
“ngapain sih
lo nanya-nanya, kaya wartawan aja” kataku judes dan manyun, berusaha untuk cepat-cepat pergi dari kamarku yang ternyata
sedari tadi sudah menjadi tempat tongkrongan baru si diga
“mau gue
anterin nggak?”
“nggak usah,
lagian gue udah biasa pergi sendiri” kataku lagi dan mulai beranjak dari
tempat dudukku semula, dan mengambil langkah cuek
“oya, tadi
tante bilang sama gue, sekarang mobil lo gue yang pegang, lo kemana-mana harus
gue yang nganterin, pak darto sekarang jadi supir pribadinya tante, khusus
tante”
“maksud lo?
Nggak mungkin lah, lo pasti bohong kan?” kataku tidak percaya dan melanjutkan
langkahku menuju garasi mobil serta mengamati sekeliling mencari sosok pak
darto yang hampir tiga tahun setia nganterin aku kemana-mana
“ngapain
gin?”
“nyari pak
darto lah, emang lo pikir kalo gue kesini nyari apa? Tikus?” kataku blak-blakan dan
terus memanggil manggil nama pak darto
“dia kan
lagi nganterin tante ke salon”
Sejak kapan
mommy nyalon begini? Dia kan malas kalo duduk lama-lama di tempat begituan,
dan kalau pun dia kesana biasanya dia kesana bareng temen-temennya, nggak
mungkin mom tega ninggalin aku sendirian begini kan? Apa mungkin…
“malah
bengong lo gin, ya udah bagus lah kalau emang lo nggak mau gue anterin, gue
bisa berenang sore ini”
“aaaaaaaaaarggghhhh,
kenapa Tuhan nyiptain manusia kaya elooo sih digaaa” teriakku tidak
tertahankan, mataku masih melototinya seperti orang kesetanan. Apa-apaan ini?
Sekarang mommy jadi aneh, masak aja sekarang jadi sayuran terus, udah tau
anaknya sama sekali ngggak doyan sama sayuran. Sekarang pak darto, dia klaim
sebagai supir pribadinya, dan kunci mobil aku di pegang si diga?
“gimana?”
“nggak usah
anterin gue” kataku masih jutek dan berjalan masuk menuju kamar
“ya udah”
“tapi lo
bawa mobilnya nggak ngebutkan?” kataku akhirnya, karna sudah menemukan jalan
buntu yang memang tidak ada jalan lain selain di anterin diga yang menyebalkan
itu. Gue masih inget dulu ada supir baru namanya pak hartana, dia bener bener
gila bawa mobilnya, jantung gue seakan mau copot, dan dia nggak segan segan
memaki sopir angkut, metromini dan yang lainnya, yang menurut dia salah. Coba
bayangin??
“gue kalem
bawa mobilnya kok gin, yang penting lo diem”
“terus lo
tau nggak jalan ke senayan?” tanyaku lagi
“tau”
“beneran?”
“iya
gina..gue tau”
“ya udah,
sekarang anterin gue” kataku tanpa senyum
“oke, ini
demi tante dan om”
“maksud
loooo? Lo nggak ikhlas nganterin gue kesenayan? Hah??” kataku mengekor di
belakangnya dengan runtutan makian terus menerus
aku baru tau
si diga bawa mobilnya sekalem ini. Nyaman banget, nggak seperti yang aku
bayangin sebelumnya, tuh si ari pacarnya anisa bawa mobilnya kaya di
lapangan sirkuit, nyelip sana sini, nggak tau ada anak yang beneran mau mati
dan kena serangan jantung, untung saja waktu itu aku bisa berfikir cepat buat
minta turun dijalan dan dijemput sama pak darto.
“jadi lo
ngambil jurusan apa sekarang dig?” Tanyaku sambil menatap serius ke muka nya,
ada bayangan aneh di sana, matanya mirip sekali dengan om farid, papahnya si
diga, yang baiknya nggak ketulungan, dan aku baru sadar bahwa alisnya.. alisnya
bagus.
“Informatika”
“oh.. emang
disurabaya nggak ada universitas yang jurusannya informatika ya? Sampe sampe lo
minta kuliah disini?” kataku lagi sekaligus
ingin menyindir…hellooooo lo tinggal dirumah gue dude….. dan lo sekarang pegang
mobil gue..dapat fasilitas ini itu…….fak dat.
“ada, tapi
menurut gue universitas dijakarta lebih bagus, itu juga kata papah”
“oh gituu..
kirain lo nggak diterima dimana-mana terus lo milih kuliah disini” kataku, jadi
begitu.. om farid juga yang nyaranin, aku juga denger sih kalo om farid dulunya
juga kuliah di tri sakti sama kaya diga sekarang
“bisa aja
kamu gin”
Aku
tersenyum menatapnya, ada banyak perubahan di dalam dirinya, aku masih inget banget
waktu dia masih ingusan,aku benar-benar kelimpungan, lo
percaya nggak? Baju sekolah aku, dia semprot pake baygon, buku PRku dicoret-coret, dan menyembunyikan salah satu sepatu favoritku.
Aku duduk
dengan tenang, ternyata diga cepat juga untuk menghafal jalanan di Jakarta
yang sebegini rumitnya, pak darto aja terkadang masih nanya sama aku harus
belok kanan apa kiri? Padahal aku juga buta jalan. Iya aku bener-bener buta
jalan.
“lo mau
ngapain kesini gin?”
“ketemu sama
wiwin, temen gue” jawabku singkat
“wiwin?
Kayanya pernah denger nama itu deh sebelumnya”
“oh yaaaa?
Oya dig, emang mommy juga bilang kalau lo juga musti jalan bareng berdua sama
gue kaya gini kemana pun, hah?” tanyaku, karna sedari tadi terus mengekor
dibelakangku
“nggak”
“terus
ngapain lo masih ngikutin gue kaya gini?”
“siapa yang
ngikutin lo, gue mau ke solaria, lapar”
“ih, gue kan
juga mau kesana dig, lo cari tempat lain kek” gerutuku
“enak aja,
orang gue duluan yang mau kesana”
“hah?”
jawabku singkat
Akhirnya aku
ketemu sama wiwin, sahabat lamaku yang baru pulang dari singapur, kita terlihat aneh, aku satu meja dengan wiwin sedangkan diga memilih untuk memisahkan dirinya di meja
yang lain. yang benar saja? Diga itu kan sepupuku,
nggak baik juga aku bersikap kaya anak kecil begini.
“gin? Gimana
lo suka sekolah disitu?”
“ya
begitulah.. kalo lo gimana win? Lo pasti suka banget dong, singapur gituloh..
nggak ada macet-macetan kaya disini, nggak harus pagi-pagi bangun biar nggak telat,
nggak musti ini itu yang aneh-aneh” kataku ngedumel, iya sekolahku terlalu banyak
aturan, nggak boleh pake make up lah, nggak boleh pake rok yang mini lah,
tetapi tetep aja banyak yang ngelanggar termasuk aku.
“hahahaha,
bisa aja lo gin”
Percakapan
sejam pun dimulai dari sekolah dan diakhiri dengan saling peluk memeluk, sore
ini juga wiwin musti back ke Singapur, padahal aku masih kangen banget sama dia.
Dia itu soulmateku yang takkan pernah terganti, dia yang selalu kasih aku contekan, dan selalu
nemenin aku kemanapun aku pergi.
Setelah
wiwin berpamitan dan diiringi langkahnya yang pasti, aku mulai mendekati meja
diga, dan melihat dia yang sedari dari asik bermain dengan handpgone-nya, mungkin chatting dengan
temennya, atau sahabatnya si Lukas atau juga..chatting sama pacarnya.
“ayo pulang”
kataku singkat
“oh udahan
gin? Wiwin mana? Kok udah ngilang sih?”
“iya dia
udah pulang sepuluh menit yang lalu” jawabku dan ingin beranjak dari solaria
“gin,
tunggu”
“kenapa dig?
Lo udah selese makan kan?” tanyaku bingung
“udah, tapi gue lupa bawa dompet”
“whaaaatt?
Lo bener bener yah, untung aja tadi lo nggak makan di restoran lain dig,
malu-maluin lo, dasar pikun! pelupa! beda jauh sama om farid!” kataku sambil melangkah ke kasir
Akhirnya
sampai juga dirumah, mommy belum juga pulang, apalagi daddy yang sibuknya
melebihi presiden, sekarang dia lagi ada kerja di Balikpapan. Jarang dirumah
begini, dengan malas aku beranjak menuju ruang keluarga dengan niat akan
menonton dvd.
“lo mau
kemana dig?” tanyaku curiga karena melihat dia setengah berlari menuju kamar
yang sekarang dihuninya, kamarnya saja ada disamping kamarku. Bagaimana tidak
curiga?
“gue mau
ganti baju”
“oh..”
“kenapa, lo
mau ikut ke kamar gue and liat gue ganti baju gin?”
Deg.
Jantungku tiba-tiba berhenti, dirumah ini, iya rumah yang cukup besar ini, Cuma
ada aku dan diga. Kalo terjadi apa-apa gimana? Kalo semisal dia tiba-tiba
deketin aku gimana? Aaaaa astaga,ada apa denganku, diga itu kan sepupuku. Parno aja aku ini. sudahlah.
“nggak”
Dia tertawa
begitu riangnya. Tertawa yang bersifat mengejek. Dan aku pun langsung
memalingkan mukaku dengan cepat, muka yang sedari tadi memerah setelah
mendengar kata-kata diga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar